Selasa, 04 Januari 2011

malangnya nasib negeriku

Di negeri ini, hidup tersandarkan pada kebutuhan yang harganya tak pernah sepadan dengan penghasilan. Keluarga yang butuh makan membuat pekerjaan hanya sebatas mencari penghasilan. Semua mahal. Jangankan makan, buang air pun bayar. Di negeri ini segala kerja dikerjakan oleh robot bernama manusia. Yang penting pekerjaan selesai dan kebutuhan untuk keluargapun tunai. Tak peduli kerja dari pagi hingga pagi lagi. Tak jadi soal kerja yang bukan cita-cita. Yang penting kerja. Yang penting penghasilan. Yang penting makan.
Seorang teman datang padaku. Sumingrah sekali dia. Baru dapat pekerjaan, katanya. Gajinya lumayan, cukup untuk makan dan hidup tenang tanpa lilitan utang. Akhirnya.. setelah berbulan-bulan dia cuma kesana-sini bawa lamaran. Ujian menjadi pegawai di negeri sendiri, tidak sanggup dia bayar. Gaji sebulan dua juta harus sogok dulu minimal delapan puluh juta. Uang darimana? Makan pun masih minta orang tua. Dan pekerjaan ini menjawab doanya. Akhirnya dia diterima kerja. Sayang, Ijazah bertuliskan ‘Sarjana Pendidikan’ dia tukar dengan pekerjaan menjadi akunting di sebuah bank. Bermodal IPK tiga koma lima, dia kandaskan cita-citanya menjadi guru bahasa Indonesia. Kemampuan soal gampang, bank jaman sekarang menyediakan pelatihan instant untuk para calon pekerjanya. Syaratnya mudah, IPK setinggi langit di ijazah.
Di negeri ini, ternyata bekerja dan mendapat pekerjaan mudah. Menjalani kuliah dan mendapat IPK tinggi lalu jadilah robot pekerja bernama manusia. Kemampuan menjadi nomor dua. Pekerjaan jaman sekarang lebih peduli dengan IPK tinggi daripada kemampuan pribadi. Dan kalau punya rupiah diangka ratus juta, bekerjalah sana menjadi pegawai negeri dengan menyingkirkan ribuan pesaing yang tanpa rupiah sama sekali.
Teman lain datang dan bercerita. Betapa bahagia dia, lulus cepat dengan IPK dahsyat. Tiga koma delapan. Senyum bahagianya meledekku, kartu hasil studi terakhirku hanya dihampiri oleh angka dua koma. Dan disaat dia asyik bercerita tentang acara wisudanya, aku masih bergelut dengan tugas kuliah yang harus sampai ke meja dosen sebelum lusa. Dia bahagia. Dunia kerja sebentar lagi akan segera menjemputnya. Atau dia yang menjemput kerja, maksudnya. Di negeri ini lebih sering yang seperti itu.
Aku ingat, beberapa bulan lalu kami masih sibuk mengerjakan tugas bersama. Kami sibuk belajar untuk ujian bersama-sama. Semua tugas kami sama. Hanya cara penyelesaiannya yang berbeda. Tugas-tugasnya selalu sesuai dengan apa yang dosen katakan. A ya dia buat A. B ya dibuat B. Calon-calon robot baru di dunia kerja. Padahal, studi yang kami jalanin menuntut kreatif. Jurusan ilmu komunikasi. Fotografi, desaign grafis, menulis di media massa, retorika, hubungan masyarakat, Radio dan segala rupa mata kuliah yang seharusnya membuat kami berfikir kreatif sendiri. Aku jadi bertanya, apa semua studi seperti ini? Manut sekali dengan kotakan materi sang dosen tanpa mau berfikir sendiri. Ah nyatanya memang. Kuliah masa kini memang menjadikan mahasiswa malas memperkejakan otak sendiri, pantas kalau angka robot manusia semakin meninggi.
Temanku sudah akan menjadi sarjana. Sedangkan aku masih harus menyandang label sebagai mahasiswa. Dia kuliah terus mengejar angka. IPK. Semua tugas dan ujian dia kerjakan dibawah tekanan kewajiban. Yang penting duduk di depan, tugas selalu dikerjakan, hafalan, ujian, lalu angka IPK pun akan sangat memuaskan. Hafalan? aku bahkan ingat betapa dia dan mereka yang kini akan sarjana selalu menghafal ketika akan ujian. Demi nilai yang tidak mengecewakan. Bahkan tidak peduli jika tidak mengerti materi sama sekali. Karena memang selalu begitu. Yang keluar di ujian adalah plek-plekan seperti yang tertulis di modul harian. Menjawab dengan pengetahuan dari lain referensi adalah bunuh diri.
Aku malas menghafal. Hafalan akan hilang dua atau tiga hari ke depan. Untuk apa? bekerja tidak butuh hafalan, teman! bekerja butuh kemampuan. Ah iya, aku lupa. Di negeri tempat kita berdiri ini, Sistemnya memang sudah seperti ini. Mengintip pendidikan adikku sendiri. Sejak sekolah dasar kita sudah dibiasakan demikian. Catatan, Hafalan, Ujian lalu lulus bersamaan dengan menguapnya ingatan pengetahuan. Hafalan kebut semalam tidak pernah bertahan. Pelajari dan mengerti, bukannya seharusnya seperti ini?
Mereka kuliah demi mengejar angka. Tingginya IPK menjadi tujuan mereka duduk di ruang kuliah setiap harinya. Mereka lulus kuliah hanya untuk bekerja. Ijazah dengan IPK tinggi menjamin kerja, katanya. Peduli setan bekerja yang tidak sesuai dengan cita-cita. Toh memang jaman sekarang sulit ditemukan makhluk bernama cita-cita. Yang ada hanya ‘yang penting bekerja. Dan sarjana dengan embel-embel IPK tiga koma adalah modalnya!’